أًَهْلاً وَسَهْلاً وَمَرْحَبًا
اَللَّهُمَّ انْفَعْنِيْ بِمَا عَلَّمْتَنِيْ وَعَلِّمْنِيْ مَا يَنْفَعُنِيْ وَزِدْنِيْ عِلْمًا

30 Langkah Mendidik Anak Agar Mengamalkan Ajaran Agama (5/30)


LANGKAH 5


PRAKTEK KETELADAN

Ia merupakan salah satu tahapan penting, paling banyak manfaatnya dan lebih tertanam di dalam jiwa anak. Karena suka meniru termasuk karakteristik fase pertama. Kita dapat melihat anak meniru ibunya yang sedang shalat. Ikut rukuk ketika ibunya rukuk dan ikut sujud ketika ibunya sujud. Serta hal-hal lain yang dapat kita saksikan siang dan malam.

Sudah seharusnya kita mengarahkan peniruan itu dan memanfaatkannya dengan apa-apa yang dapat menghidupkan jiwa mereka agar senang mengamalkan agama ini. Dengan cara:
1. Menceritakan kisah-kisah sahabat nabi, orang-orang saleh dan ulama.
2. Senantiasa menyertakan anak pada setiap momen kebaikan agar dia menirunya , seperti pergi ke masjid dll.
3. Memperdengarkan kepadanya kaset-kaset Islami yang bermanfaat dan sesuai dengan usianya.
4. Melakukan sebagian ibadah di hadapannya, seperti shalat dan sedekah.

Kisah Yang Menunjukkan Pentingnya Keteladanan Ilmiah Dalam Membangun Kepribadian Anak
Pada penjelasan kesalehan ayah dan ibu terdahulu telah disampaikan contoh-contoh pentingnya keteladanan dalam membangun kepribadian.
Berikut contoh dari praktek keteladanan yang lain:
1. Kuraib, mantan budak Ibnu Abbas menceritakan bahwa Ibnu Abbas -radiallahu'anhuma- mengabarkannya bahwa dia bermalam di rumah bibinya, Maimunah, istri Nabi -shalallahu alaihi wasallam-:
“Aku berbaring pada bagian lebar tikar, sementara Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- berserta istrinya berbaring memenuhi panjang tikar hingga beliau -shalallahu alaihi wasallam- tertidur.
Pada pertengahan malam, sebelum atau setelahnya sedikit beliau -shalallahu alaihi wasallam- bangun, mengusap wajahnya dari bekas tidur lalu membaca sepuluh ayat dari penutup surat Ali Imran. Setelah itu beliau beranjak menuju bejana yang tergantung dan berwudhu darinya dengan sebaik-baik wudhu, lalu melaksanakan shalat."
Ibnu Abbas melanjutkan:
“Aku pun ikut bangun dan melakukan apa yang dilakukan Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-, kemudian berdiri di sampingnya (turut shalat). Namun kemudian Nabi meletakkan tangan kanannya di kepalaku dan memutarkanku (ke sebelah kanannya) dengan memegang telinga kananku. Kemudian shalat 2 rakaat, 2 rakaat, 2 rakaat, 2 rakaat, 2 rakaat, 2 rakaat, lalu shalat witir. Setelah itu beliau berbaring hingga datang muazin. Setelah muazin datang beliau shalat 2 rakaat ringan baru kemudian keluar melakukan shalat subuh.[1]
2. Aisyah, Umul mukminin -radiallahu'anha- berkata:
“Aku tidak melihat seorang pun yang lebih mirip ucapan dan perkataannya dengan Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- dari pada Fatimah.”[2]

Kisah-kisah di atas menjadi saksi yang menuturkan kepada kita bahwa anak begitu terpengaruh dengan orang tua dan menirunya.


Contoh Praktis Pentingnya Praktek Keteladanan Dalam Membangun Kepribadian Anak

Sedekah
Jika engkau melihat orang miskin dan anakmu bersamamu, berilah dia uang. Kemudian minta dia menyedekahkan uang tersebut kepada orang miskin yang dilihatnya. Ucapkan terima kasih dan pujilah dia di depan saudara-saudaranya setelah itu. Dengan demikian perbuatan baik tersebut akan tertanam dalam dirinya. Praktek seperti ini akan menciptakan generasi yang cinta bersedekah dan memberi pertolongan kepada yang membutuhkan dan lemah.



Bersambung InsyaAllah.

[1]HR.Bukhari kitab: Tafsir (rabbana inna sami’na munadi yunadi lil iman) no. 4572. fathul Bâri kitab: Tafsir VIII/300.
[2]Siar a’lam an-Nubala II/118-134.
Baca selengkapnya

30 Langkah Mendidik Anak Agar Mengamalkan Ajaran Agama (2/30)


LANGKAH 2


MEMBERI ANAK NAMA YANG BAIK

Nama memiliki pengaruh penting dalam membangun kepribadian, cara hidup, bahkan lingkungan.
Ketika Nabi -shalallahu alaihi wasallam- tiba di Kota Madinah, kota Madinah masih bernama Yatsrib. Beliau menggantinya dengan nama Thoibah atau Madinah. Keduanya menunjukkan makna nama yang baik. Nama yang baik itu sendiri pada dasarnya menjadi sumber pengharapan yang baik. Karena itu, sudah seharusnya kedua orang tua memilih nama yang baik, hingga menjadi penginspirasi kebaikan bagi anak.

Contoh Praktis Dan Kisah-Kisah Pentingnya Memilih Nama Dalam Membangun Kepribadian Anak

a. Sisi positif nama baik.
Abdurrahman Ibn Auf berkata:
“Dahulu namaku Abdu Amr (artinya budak Amr). Ketika memeluk Islam Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- menamaiku Abdurrahman (artinya hamba Allah Yang Maha Pengasih).[1]
Diriwayatkan bahwa Abdurrahman menjual tanahnya. Hasilnya dibagikan kepada orang fakir dari bani Zahroh, Muhajirin dan Ummul Mukminin (istri-istri Nabi). Al-Musawar berkata:
'Aku mendatangi Aisyah untuk menyerahkan pemberian itu.'
Aisyah -radiallahu'anha- bertanya:
'Siapa yang mengirimkan ini?'
'Abdurrahman Ibn Auf.' Jawabku.
Aisyah -radiallahu'anha- berkata:
'Aku mendengar Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- bersabda:

((لا يحنو عليكنَّ بعدي إلا الصابرون))

‘Tidaklah berempati kepada kalian setelahku selain Sôbirun (para penyabar).[2]

Nama Abdurrahman diserap dari kata [ar-rahman] yang diambil dari sifat kasih. Nabi -shalallahu alaihi wasallam- mendapati pada diri lelaki ini sifat kasih dan sayang sehingga beliau menamainya Abdurrahman.



b.Sisi yang sejalan dengan nama yang tidak baik.
Diriwayatkan oleh Ibnu al-Musayyib dari ayahnya, bahwa ayahnya datang kepada Nabi -shalallahu alaihi wasallam-. Nabi menanyakan namanya:
“Siapa namamu?”
“Huzn (=sedih).” Jawabnya.
“Engkau Sahl (=mudah).” Timpal Nabi.
“Aku tak dapat merubah nama yang telah diberikan oleh ayahku.” Tolaknya.
Ibnu al-Musayyib berkata:
'Kesedihan itu senantiasa merundung kami setelahnya.”[3]

Ad-Dawudi berkata:
"Maksud Sa’id Ibn Musayyib adalah kesedihan akan sulitnya merubah tabiat akhlak mereka. Dalam hal ini Sa'id membawakannya kepada hal yang memicu kemurkaan Allah."
Yang lain berkata:
"Ibn Musayyib mengisyaratkan akan kejumudan yang masih tersisa pada akhlak mereka."[4]

Demikianlah. Ketika kita ingin anak keturunan kita baik, hendaknya kita melakukan tahap kedua, yaitu memilih nama-nama yang baik, karena ia mempengaruhi kepribadian anak seperti yang kita dapati pada contoh di atas.



Bersambung InsyaAllah.

[1]Siar a’lam an-Nubala I/74.
[2]Siar a’lam an-Nubala I/86.
[3] Al-Bukhari, kitab: al-Adab bab: Ismul Huzn juz. 10 no. 6190.
[4]Fathul Bâri X/703.
Baca selengkapnya

30 Langkah Mendidik Anak Agar Mengamalkan Ajaran Agama (1.a/30)


Lanjutan dari artikel sebelumnya 30 Langkah Mendidik Anak Agar Mengamalkan Ajaran Agama (1/30)

Rasa Takut Sang Ayah
Kisah rasa takut sang ayah, Fudhail Ibn Iyadh -rahimahullah- dan kekhawatirannya kepada Allah.
Muhammad Ibn Nâhiah berkata:
"Aku shalat subuh bermakmum di belakang al-Fudhail. Dia membaca surat al-Hâqah. Ketika tiba pada bacaan:
“(Allah berfirman): "Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya.” (QS. Al-Hâqoh:30)
Al-Fudhail tidak kuasa membendung tangisnya.[1]

Ishaq Ibn Ibrahim at-Thabari berkata:
“Aku tidak mengetahui seseorang yang lebih takut terhadap dirinya dan lebih perhatian kepada manusia dari pada al-Fudhail. Bacaan al-Qurannya miris, merindu, perlahan, dan syahdu, seolah sedang berkomunikasi dengan seseorang. Jika lewat pada ayat yang menyebutkan tentang surga, ia mengulang-ulanginya.[2]

Rasa Takut Anak Kepada Allah
Kisah rasa takut dan khawatir seorang anak (Ali putra al-Fudhail Ibn 'Iyâdh).
Abu Bakar Ibn 'Iyâsy berkata:
"Aku shalat magrib di belakang Al-Fudhail Ibnu 'Iyadh, sementara putranya, Ali berada di sampingku. Al-Fudhail membaca:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim. Dan sungguh kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).”
Ketika sampai pada ayat:
“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,”
Ali jatuh pingsan, sedangkan al-Fudhail terus melanjutkan bacaannya.[3]
Abu Sulaiman ad-Dârani berkata:
"Ali Ibn Fudhail tidak sanggup membaca surat al-Qori'ah atau dibacakan kepadanya."[4]


ANAK DAN KEDUA ORANG TUA
Habib Ibn Zaid Terpengaruh Oleh Kedua Orang Tuanya


Pengorbanan Ibu
Anas berkata:
"Abu Tolhah melamar Ummu Sulaim.
Ummu Sulaim berkata kepada Abu Tolhah:
"Tidaklah layak bagiku menikahi lelaki musyrik. Tidakkah kamu tahu wahai Abu Tolhah bahwa tuhan-tuhanmu dibuat oleh Abdu Alu Fulan. Jika engkau bakar tuhan-tuhan itu niscaya akan terbakar."
Abu Tolhah pun berlalu, sedangkan dalam hatinya terngiang-ngiang apa yang dikatakan Ummu Sulaim. Berselang dari itu dia datang lagi kepada Umu Sulaim dan berkata:
"Apa yang telah engkau ajukan kepadaku aku terima. Tidak ada mahar bagimu selain memeluk Islam."

Pengorbanan Seorang Ayah
Anas berkata:
"Ketika perang Uhud kaum muslimin terdesak dan terpisah dari Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-, sedangkan Abu Tolhah tetap bersama Rasulullah melindung beliau dengan tombaknya. Abu Tolhah adalah seorang yang mahir memanah dan bertubuh kekar. Dia mampu mematahkan dua atau tiga busur sekaligus. Ketika ada seorang yang lewat membawa sekumpulan anak panah ada yang mengatakan:
"Berikan anak-anak panah itu kepada Abu Tolhah."
Nabi -shalallahu alaihi wasallam- mendongak melihat siapa mereka, namun Abu Tolhah berkata:
"Demi ibu dan ayahku, janganlah mendongak sehingga terkena sasaran panah mereka. Biarlah tubuhku menjadi pelindungmu.[5]

Anak Yang Mati Syahid
Ibnu Kasir menyebutkan dalam kitab al-Bidâyah wa an-Nihâyah:
"Habib Ibn Zaid dibunuh oleh Musailamah al-Kazzab."[6]
Ketika Musailamah menginterogasi Habib, dia bertanya:
“Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad Rasulullah?"
“Ya.” Jawab Habib.
“Apakah engkau bersaksi bahwa aku Rasulullah? Tanya Musailamah lagi.
Habib menjawab: “Aku tidak mendengar perkataanmu!”
(Musailamah berang) dan memutilasi Habib sambil mengulang-ulang pertanyaannya. Habib tidak menjawab lebih dari yang dikatakannya semula hingga menghembuskan nafas terakhirnya.[7]




Bersambung InsyaAllah...

[1]Siar a’lam an-Nubala 8/444.
[2]Siar a’lam an-Nubala8/427/428.
[3]Siar a’lam an-NubalaVIII/443-444.
[4]Siar a’lam an-NubalaVIII/445.
[5]HR.Al-Bukhari no.3811 dan Fathul bâri VII/506.
[6]Seorang yang mengaku sebagai nabi setelah wafatnya Rasulullah –salallahu alaihi wasallam-.
[7] Siar a’lam an-Nubala III/116.
Baca selengkapnya